Sosok – Arifin (45) lelaki bertubuh kekar berambut gondrong asal Desa
Sembung Kecamatan Plumpang Kabupaten Tuban, dikenal masyarakat sekitar
sebagai seorang Pawang Buaya penghuni sungai Bengawan Solo.
Semasa hidup mendiang ayahnya (Modin Kasdan) adalah seorang juru kunci Sunan Bonang, mewariskan tugas untuk merawat dan menjaga, melestarikan budaya ritual yang dilakukan setiap tahunnya pada acara sedekah bumi di desanya, untuk memberi makan buaya penunggu Bengawan Solo sampai sekarang, dengan sesaji tumpeng di aliran sungai tersebut.
Bengawan Solo sampai sekarang, dengan sesaji tumpeng di aliran sungai tersebut.
Di semak belukar rumput ilalang tumbuh membentang di jurang bibir sungai
hutan lindung (hutan bambu) serta pepohonan rindang berbatang dan
bercabang besar, tumbuh di area makam yang angker terletak di tepian
jurang sungai sejuta cerita (bengawanSolo) . Sebuah bangunan rumah
kecil, oleh masyarakat sekitar disebut dengan istilah cungkup (rumah sakral) di situ adalah makam Mbah Santri. Menurut cerita warga setempat Mbah Santri
diyakini sebagai seorang alim (tokoh besar), pernah jasadnya hanyut
karena tanah tergerus arus air Bengawan Solo, namun kembali di posisi
semula. Tidak jauh dari tempat itu Arifin melakukan ritual bersama tim
angker menembus batas “sosialnews” untuk berkomunikasi dengan buaya goib.
Menurut Arifin, kelahiran 1969 ayah dari dua anak yang memiliki nama sebutan banteng sewu sebuah nama dari pemberian makluk halus, buaya-buaya tersebut adalah buaya goib ada 4 nama buaya putih bersahabat pada dirinya.
Buaya putih (Buyut Sidik) berada di bawah jembatan peninggalan
penjajah Desa Ngadipuro Kecamatan Widang. Buaya Putih (Buyut Siti)
berada di tambangan prahu Desa Bandungrejo Kecamatan Plumpang. Buaya
Putih (Buyut Joyo) berada di tikungan Desa Plandi Kecamatan Plumpang.
Buaya Putih (Buyut Sumo) berada di Dusun Krandon Desa Kadung Kecamatan
Burno, Bojonegoro.
Dari 4 buaya tersebut berpulang singgah, di wilayah perairan sungai
Bengawan Solo (DAS) terletak di Desa Sembungrejo Kecamatan Plumpang,
Tuban.
Arifin mengaku masih cedak’e soco rembesan madu (trah
mataram ) prajurit yang tercecer di kawasan sepanjang sungai Bengawan
Solo, terdesak dari sebuah peperangan pada zaman itu.
Ia (Arifin) mengetahui karena diberi wejangan leluhurnya secara turun
menurun. bukan terkait pada dirinya namun juga memaparkan secara runtut
kehebatan penduduk yang bermukim (pribumi) di kawasan bantaran sempadan
sungai Bengawan Solo, masih banyak orang hebat titisan darah biru.
“Tapi hati-hati mas banyak orang mengaku-ngaku lho, untuk mencari makan
menjual yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata,” kata Arifin, sang banteng sewu.
Terkait dengan buaya tersebut sering ada kejadian yang aneh hadir di
tengah keluarganya, seperti sekitar bulan puasa Ramandhan kemarin (2014)
buaya itu tidur di rumah keponakannya yang tinggal di Jakarta. Saya
diminta untuk mengantarkan makanan ke Bengawan Solo tepatnya di Desa
Bandungrejo. Saat itu dirinya lagi kerja di jakarta sebagai tukang batu,
ungkap alumni Pesantren Bananran Babat Lamongan tersebut.
Mengenai kemampuan bekomunikasi dengan dunia lain, Arifin mengatakan
tidak pernah belajar dari siapa-siapa, karena semua kerabatnnya bisa
melakukan komunikasi dengan buyut buaya putih yang kerap dikatakan sebagian masyarakat sekitar Desa Sembungrejo dengan sebutan Bajol Kliwon.
Makluk halus yang menjilma buaya itu sudah seprti keluarga secara
turun menurun. Anakku yang baru berusia 7 tahun saja sudah bersahabat.
‘’Sering kok mas rumahku ada tamu bukan manusia, kalau gak percaya apa
saya perlihatkan?” Celetuk arifin, yang juga sebagai salah satu murid
almarhum Kyai Madzun seorang tokoh besar trah Mataram ke empat (4) yang bermukim di Desa Mranten Kecamatan Burno Bojonegoro….*(At)